Sunday, October 20, 2013

Karya sahabat (Puisi)



Rindu hujan
Hujan pertama
Alhamdulillah ya Rob…
Serasa Bintang penghibur malam menambah keindahan
Serasa elang penjaga siang menyapa ramah lengkap dengan senyuman
Serasa sang penjaga api berisyarat memberikan keyakinan
Serasa riang melihat sepasang gadis melambaikan tangan tanda setuju
atau bahkan dua tangan mungil yang menyambut kehadiranku pulang kerumah...
Indah titik hujan yang membasahi tanah yang gersang
terimakasih Sang Pengasih.....terimakasih Rabb. Hujan Pertama



Rindu hujan..
Alhamdulillah ya Rob…
Serasa Bintang penghibur malam menambah keindahan
Serasa elang penjaga siang menyapa ramah lengkap dengan senyuman
Serasa sang penjaga api berisyarat memberikan keyakinan
Serasa riang melihat sepasang gadis melambaikan tangan tanda setuju
atau bahkan dua tangan mungil yang menyambut kehadiranku pulang kerumah...
Indah titik hujan yang membasahi tanah yang gersang
terimakasih Sang Pengasih
terimakasih Rabb…


Puisi Ratna Jeki Parwati, ia adalah guru ekonomi di MAN 2 Banjanegara.

Saturday, October 5, 2013

Tokoh teladan (Meneladani Kepemimpinan Khalifah Umar Bin Abdul Aziz)



Meneladani Kepemimpinan Khalifah Umar Bin Abdul Aziz
Akhlak pemimpin seorang Khalifah Umar bin Abdul Aziz, sungguh jauh dari gaya perlente, berpakaian mahal, kendaraan mewah, apalagi makanan yang lezat.  Seharusnya pejabat di negeri ini meneladani kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz.
Tatkala Khalifah demi khalifah datang pergi silih berganti, disebut-sebutlah nama Umar bin Abdul Azir untuk menjadi penggantinya. Lalu apa kata Umar ketika namanya digadang-gadang menjadi calon khalifah yang baru.
 “Jangan sebut-sebut nama saya, katakan bahwa saya tidak menyukainya. Dan jika tidak ada yang menyebut namanya, maka katakan, jangan mengingatkan nama saya,” ujar Umar bin Abdul Aziz.
 Suatu ketika dibuatlah rekayasa, berupa surat wasiat, seolah-olah khalifah sebelumnya menetapkan Umar sebagai penggantinya. Begitu diumumkan di depan publik, seluruh hadirin pun serentak menyatakan persetujuannya. Tapi tidak dengan Umar. Ia justru terkejut, seperti mendengar petir di siang bolong.  Bukan hanya terkejut, Umar bin Abdul Aziz bahkan mengucapkan: Inna lillahi wa Inna ilaihi raji’uun, dan bukannya Alhamdulillah seperti kebanyakan para pejabat di negeri ini.  Bagi Umar, tahta yang disodorkan adalah musibah, bukan kenikmatan. Sosok Umar bin Abdul Aziz bukanlah tipe manusia yang berambisi untuk menjadi pemimpin, apalagi mengejarnya.
 “Demi Allah, ini sama sekali bukanlah atas permintaanku, baik secara rahasia ataupun terang-terangan,” ujar Umar.
Di atas mimbar Umar berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya aku telah dibebani dengan pekerjaan ini tanpa meminta pendapatku lebih dulu, dan bukan pula atas permintaanku sendiri, juga tidak pula atas musyawarah kaum muslimin. Dan sesungguhnya aku ini membebaskan saudara-saudara sekalian dari baiat di atas pundak saudara-saudara, maka pilihlah siapa yang kamu sukai untuk dirimu sekalian dengan bebas!”
Ketika semua hadirin telah memilihnya dan melantiknya sebagai Khalifah, Umar berpidato dengan ucapan yang menggugah. “Taatlah kamu kepadaku selama aku ta’at kepada Allah. Jika aku durhaka kepada Allah, maka tak ada keharusan bagimu untuk taat kepadaku.”
Jika kebanyakan pejabat berpesta ria saat kenaikan pangkat dan meraih kekuasaan, Umar bin Abdul Aziz malah berpesta air mata, ia takut pertanggungjawabanya di hadapan Allah pada hari kiamat kelak tak mampu dipikulnya, dan jika kebanyakan pejabat bermegah-megahan saat mendapat kedudukan, Umar justru hidup dalam kesederhanaan, bahkan amat sederhana, dan minim sekali. Zuhud dan wara sudah menjadi pribadi Umar sebelum ia menjadi Khalifah. Ketika ia disodori kendaraan “dinas” yang supermewah berupa beberapa ekor kuda tunggangan, lengkap dengan kusirnya, Umar menolak, dan malah menjual semua kendaraan itu, lalu uang hasil penjualannya diserahkan ke Baitul Mal. Termasuk semua tenda, permadani dan tempat alas kaki yang biasanya disediakan untuk khalifah yang baru.
Kesederhaan Umar dibuktikan ketika ia melepas pakaiannya yang mahal dan menggantinya dengan pakaian kasar  – hanya delapan dirham.  Semua pakaian, minyak wangi, juga tanah perkebunan yang diwarisinya, juga dijual, lagi-lagi uangnya diserahkan ke Baitul Mal. Istri pejabat umumnya memanfaatkan kedudukan suaminya untuk hidup mewah, tapi Umar justru menawarkan pilihan, antara hidup bersama dirinya dengan melepas semua harta perhiasan yang dikenakan, termasuk permata, mutiara, perabotan rumah tangga yang mahal harganya, atau berpisah. Akhinya, sang istri memilih hidup bersahaja bersama suaminya yang bertahtakan khilafah.
Itulah akhlak pemimpin seorang Umar bin Abdul Aziz, jauh dari gaya perlente, berpakaian mahal, kendaraan mewah, apalagi makanan yang lezat.  Seharusnya pejabat di negeri ini meneladani kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz.