Thursday, July 31, 2014

Nasehat Sang Guru (Cerpen)


                   Nasehat sang Guru
          “Lam kemarin pagi kemana?” tanya Bu Yanti pada anaknya.
          “Sekolah bu.” jawabnya singkat.
          “Jangan bohong pada ibu.” katanya kembali.
          “B, , be, , , bene, , ran.” Salam tergagap.
          “Lagi-lagi jangan diulangi ya,” kata Bu Yanti dengan tenang. “ibu dah tau kok.”
Tak lama Bu Yanti meninggalkan Salam dengan membawa rinjing1. Ia akan berjualan tempe keliling desa seperti bisa. Ia sekarang menjadi tulang punggung keluarganya. Salam masih tertunduk malu. Dia telah membohongi sang Ibu.
“Maafkan Salam tadi telah membohongi ibu. Aku tak ingin mengulangi lagi. Kasihannya ibu. Sekali lagi maafkan Salam Bu. Begitu durhakanya aku.” Katanya dalam hati, menyesali dirinya sendiri.
Bu Yanti memang orangnya lembut, ia tak pernah memarahi anak-anaknya apabila melakukan kesalahan. Dengan kelembutan sifat inilah kedekatan dengan sang anak begitu indah dan juga sang anak mungkin terasa lebih mudah menerima apa yang disampaikan oleh ibunya. Yang diharapkan Bu Yanti dengan mengajarkan kelembutan pada anak-anaknya agar kelak anak-anaknya pun memiliki sifat lembut dan penuh kasih terhadap sesama.
Salam adalah anak keduanya. Sang kakak, Wahid. Sedang kuliah sambil bekerja di luar kota. Wahid kuliah membiayai sendiri dari hasil bekerjanya. Sang suami telah meninggal dunia lima tahun lalu.
                                                     ***
          Udara begitu segar, sang mentari masih malu-malu menampakan dirinya. Kokok ayam memeriahkan suasana pagi.
 Jadwal Salam di hari Minggu ini adalah bersih-bersih rumah dan membantu ibu membuat tempe. Sesekali ia kekebun untuk melihat pohon Mahoni yang ditanamnya sendiri. Ketika ia sedang menyapu  lantai di balai2 rumanhya, terdengar suara yang membuatnya agak kaget.
 “Rajinnya cucuku.” kata suara itu. “pagi-pagi udah nyapu.”
Salam memalingkan wajahnya ke sumber suara itu.
“Oh Mbah Bejo rupanya.”  berkata Salam penuh hormat. “ Buat kaget aja mbah Bejo.”
Ya, Mbah Bejo namanya. Beliau adalah tetangga dan juga guru ngaji Salam. Beliau memang sesepuh3 di desanya. Walau sepuh, namun ilmu pengetahuannya amat luas. Sehingga beliau selalu menjadi rujukan masyarakat  apabila ada masalah-masalah. Beliaupun begitu dihormati. Walau demikian, beliau masih tetap rendah hati. Beliau tinggal bersama isterinya. Kedua putranya sudah menjadi uztad, dan mengajar di pondok, di luar kota. Mereka pulang 6 bulan sekali.
“Memang harus begitu, selagi masih anak-anak harus rajin. Agar kelak rajinnya bertambah terus. Hehe” kata mbah Bejo sambil tertawa. “Nanti siang mampir ya Lam. Mbah tunggu di balai rumah mbah.”
“Oke mbah.” kata Salam sambil mengacungkan ibu jarinya.
                        ***
“Bu Salam mau kerumah Mbah Bejo. Tadi pagi beliau menyuruh untuk mampir.” kata salam
“Ya, hati-hati.” singkat Bu Yanti.
Salam keluar rumah, terlihat Mbah Bejo sudah duduk di risbannya4 sambil ditemani secangkir kopi. Seperti sahabat aja mereka, Salam membatin sambil melangkahkan kakinya menuju rumah Mbah Bejo.
“Oh cucuku.” kata Mbah Bejo, terlihat salah satu giginya yang masih tersisa.
Sesampainya, mereka berdua saling diam. Hening. Sambil menatap langin, juga  menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah mereka.
“Ada apa to mbah.” Salam membuka keheningan.
Mereka saling ngobrol penuh suka ria. Salam merupakan murid kesayangannya. Dia sudah di anggap menjadi cucunya. Mbah Bejo kadang teringat pesan dari alm. Pak Imam, Ayah Salam sebelum meninggal. Saat sebelum meninggal, beliau berpesan untuk mendidik anaknya, yaitu Wahid dan Salam agar anak-anaknya di didik mengaji, agar bisa menjadi anak yang pntar, soleh, berbakti pada kedua orang tua, dan penuh kasih pada sesama. Wahidlah bukti dari didikan Mbah Bejo salah satunya, yang kemudian Wahid mengembangkan ilmunya di pondok pesantren, di luar kota.
Mereka berdua begitu menikmati suasana siang hari dengan semilir angin. Tak terasa waktu hampir memasuki shalat Asar.
“Dah hampir Asar mbah.” kata Salam.
 Sabelum pulang salam di kasih nasehat oleh Mbah Bejo.
“Sebelum pulang. Kakek mau kasih sesuatu, kamu mau nggak?” kata mbah Bejo.
          “Apa mbah?” Salam balik tanya.
          Mbah Bejo senyum, sekarang terlihat pipinya yang kempot menambah pesona. Salam begitu penasaran. Dalam hati ia berpikir akan di beri uang. Memang ada-ada saja Salam.
          Kakek tahu kejadian yang di alami dua hari lalu, dan kejadian itu yang ngasih tahu pun Mbah. Dan Mbah di kasih tau oleh seseorang” katanya.
“Ya Mbah, Salam menyesal, dan tak akan kuulangi lagi.” Salam sambil menundukan kepala.
“Ya nda papa, namanya juga anak-anak.” Mbah bejo memaklumi. “Nah apakah kamu ingin tau orang yang berani lagi baik budi pekertinya?”
          “Ya mbah, mau.” kata Salam.
          “Peliharalah kejujuran. Karena kejujuran itu pangkal keberanian, siapa yang jujur, mereka itulah seorang yang berani. Dan orang yang berbohong adalah orang yang pecundang. Dan kejujuran merupakan sifat yang di anugerahkan pada hamaba-hamba-Nya yang shaleh, seperti Rosulullah SAW.
“Dan ingatlah satu lagi cucuku, tebarkanlah kasih sayang. Sifat inilah yang Allah anugerahkan pula kepada hamba-hamba-Nya yang shaleh. Dan kasih sayang pula sifat Allah yang pertama di beri tahu kepada para hamba-Nya, yang termaktub dalam kalimat ‘Bismillaahirrah maanirra hiim, dan Asma ul husna-Nya, ‘Ar Rahman’.” mbah Bejo memberi tahu.
          “Iya Mbah,” kata salam masih menundukan kepala. “terima kasih untuk nasehatnya. Akan saya pegang nasehat ini.”
          Salam pun pamit untuk pulang. Merekapun berpisah. Dan alangkah indahnya pertemuan mereka hari ini.







1.      Rinjing : bakul yang bertangkai terbuat dari anyaman bambu dsb.
2.      Balai : bagian depan rumah atau teras rumah.
3.      Sepuh : a. orang yg tertua dalam masyarakat; b. orang yg dituakan atau dijadikan pemimpin karena banyak pengalaman atau wawasan ilmu pengetahuannya.
4.      Risban : kursi panjang terbuat dari kayu untuk bersantai di teras atau di   ruang.