Nasehat
sang Guru
“Lam kemarin pagi kemana?” tanya Bu Yanti pada anaknya.
“Sekolah bu.” jawabnya
singkat.
“Jangan bohong pada ibu.” katanya
kembali.
“B, , be, , , bene, , ran.”
Salam tergagap.
“Lagi-lagi jangan diulangi
ya,” kata Bu Yanti dengan tenang. “ibu dah tau kok.”
Tak lama Bu Yanti meninggalkan Salam dengan
membawa rinjing1. Ia akan berjualan tempe keliling desa
seperti bisa. Ia sekarang menjadi tulang punggung keluarganya. Salam masih
tertunduk malu. Dia telah membohongi sang Ibu.
“Maafkan Salam tadi telah membohongi ibu.
Aku tak ingin mengulangi lagi. Kasihannya ibu. Sekali lagi maafkan Salam Bu.
Begitu durhakanya aku.” Katanya dalam hati, menyesali dirinya sendiri.
Bu Yanti memang orangnya lembut, ia tak
pernah memarahi anak-anaknya apabila melakukan kesalahan. Dengan kelembutan
sifat inilah kedekatan dengan sang anak begitu indah dan juga sang anak mungkin
terasa lebih mudah menerima apa yang disampaikan oleh ibunya. Yang diharapkan
Bu Yanti dengan mengajarkan kelembutan pada anak-anaknya agar kelak
anak-anaknya pun memiliki sifat lembut dan penuh kasih terhadap sesama.
Salam adalah anak keduanya. Sang kakak,
Wahid. Sedang kuliah sambil bekerja di luar kota. Wahid kuliah membiayai
sendiri dari hasil bekerjanya. Sang suami telah meninggal dunia lima tahun
lalu.
***
Udara
begitu segar, sang mentari masih malu-malu menampakan dirinya. Kokok ayam
memeriahkan suasana pagi.
Jadwal Salam di hari Minggu ini adalah
bersih-bersih rumah dan membantu ibu membuat tempe. Sesekali ia kekebun untuk
melihat pohon Mahoni yang ditanamnya sendiri. Ketika ia sedang menyapu lantai di balai2 rumanhya,
terdengar suara yang membuatnya agak kaget.
“Rajinnya
cucuku.” kata suara itu. “pagi-pagi udah nyapu.”
Salam memalingkan wajahnya ke sumber suara
itu.
“Oh Mbah Bejo rupanya.” berkata Salam penuh hormat. “ Buat kaget aja
mbah Bejo.”
Ya, Mbah Bejo namanya. Beliau adalah
tetangga dan juga guru ngaji Salam. Beliau memang sesepuh3 di
desanya. Walau sepuh, namun ilmu pengetahuannya amat luas. Sehingga beliau
selalu menjadi rujukan masyarakat
apabila ada masalah-masalah. Beliaupun begitu dihormati. Walau demikian,
beliau masih tetap rendah hati. Beliau tinggal bersama isterinya. Kedua
putranya sudah menjadi uztad, dan mengajar di pondok, di luar kota. Mereka
pulang 6 bulan sekali.
“Memang harus begitu, selagi masih
anak-anak harus rajin. Agar kelak rajinnya bertambah terus. Hehe” kata mbah
Bejo sambil tertawa. “Nanti siang mampir ya Lam. Mbah tunggu di balai rumah
mbah.”
“Oke mbah.” kata Salam sambil mengacungkan
ibu jarinya.
***
“Bu Salam mau kerumah Mbah Bejo. Tadi pagi beliau
menyuruh untuk mampir.” kata salam
“Ya, hati-hati.” singkat Bu Yanti.
Salam keluar rumah, terlihat Mbah Bejo
sudah duduk di risbannya4 sambil ditemani secangkir kopi. Seperti
sahabat aja mereka, Salam membatin sambil melangkahkan kakinya menuju rumah
Mbah Bejo.
“Oh cucuku.” kata Mbah Bejo, terlihat salah
satu giginya yang masih tersisa.
Sesampainya, mereka berdua saling diam.
Hening. Sambil menatap langin, juga
menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah mereka.
“Ada apa to mbah.” Salam membuka
keheningan.
Mereka saling ngobrol penuh suka ria. Salam
merupakan murid kesayangannya. Dia sudah di anggap menjadi cucunya. Mbah Bejo
kadang teringat pesan dari alm. Pak Imam, Ayah Salam sebelum meninggal. Saat
sebelum meninggal, beliau berpesan untuk mendidik anaknya, yaitu Wahid dan
Salam agar anak-anaknya di didik mengaji, agar bisa menjadi anak yang pntar, soleh,
berbakti pada kedua orang tua, dan penuh kasih pada sesama. Wahidlah bukti dari
didikan Mbah Bejo salah satunya, yang kemudian Wahid mengembangkan ilmunya di
pondok pesantren, di luar kota.
Mereka berdua begitu menikmati suasana
siang hari dengan semilir angin. Tak terasa waktu hampir memasuki shalat Asar.
“Dah hampir Asar mbah.” kata Salam.
Sabelum pulang salam di kasih nasehat oleh
Mbah Bejo.
“Sebelum pulang. Kakek mau kasih sesuatu,
kamu mau nggak?” kata mbah Bejo.
“Apa mbah?” Salam balik tanya.
Mbah Bejo senyum, sekarang terlihat
pipinya yang kempot menambah pesona. Salam begitu penasaran. Dalam
hati ia berpikir akan di beri uang. Memang ada-ada saja Salam.
“Kakek tahu kejadian yang di alami dua hari
lalu, dan kejadian itu yang ngasih tahu pun Mbah. Dan Mbah di kasih tau oleh
seseorang” katanya.
“Ya Mbah, Salam menyesal, dan tak akan kuulangi
lagi.” Salam sambil menundukan kepala.
“Ya nda papa, namanya juga
anak-anak.” Mbah bejo memaklumi. “Nah apakah kamu ingin tau orang yang berani
lagi baik budi pekertinya?”
“Ya mbah, mau.” kata Salam.
“Peliharalah kejujuran.
Karena kejujuran itu pangkal keberanian, siapa yang jujur, mereka itulah
seorang yang berani. Dan orang yang berbohong adalah orang yang pecundang. Dan kejujuran
merupakan sifat yang di anugerahkan pada hamaba-hamba-Nya yang shaleh, seperti
Rosulullah SAW.
“Dan ingatlah satu lagi cucuku, tebarkanlah
kasih sayang. Sifat inilah yang Allah anugerahkan pula kepada hamba-hamba-Nya
yang shaleh. Dan kasih sayang pula sifat Allah yang pertama di beri tahu kepada
para hamba-Nya, yang termaktub dalam kalimat ‘Bismillaahirrah maanirra hiim,
dan Asma ul husna-Nya, ‘Ar Rahman’.” mbah Bejo memberi tahu.
“Iya Mbah,” kata salam masih
menundukan kepala. “terima kasih untuk nasehatnya. Akan saya pegang nasehat
ini.”
Salam pun pamit untuk
pulang. Merekapun berpisah. Dan alangkah indahnya pertemuan mereka hari ini.
1. Rinjing : bakul yang bertangkai terbuat
dari anyaman bambu dsb.
2. Balai : bagian depan rumah atau teras
rumah.
3. Sepuh : a. orang yg tertua dalam
masyarakat; b. orang yg dituakan atau dijadikan pemimpin karena banyak
pengalaman atau wawasan ilmu pengetahuannya.
4. Risban : kursi panjang terbuat dari
kayu untuk bersantai di teras atau di
ruang.