Monday, August 31, 2015

Cerpen- Kelembutan



Kelembutan
“Rajinya Nak, masih petang dah mulai bersih-bersih.” canda Pak Tua pada Si Pemuda.
          Si pemuda tersenyum.
          “Kita cari udara segar dulu Nak.”
          “Kemana?”
          “Kemanapun.”
          Si Pemuda berjalan mendekati Pak Tua. Mereka pun berjalan bersama, Si Pemuda selangkah si belakang Pak Tua. Setelah beberpa meter bejalan mereka berpapasan dengan tiga anak kecil. Umurnya sepadan, sekitar delapan tahun. Mungkin mereka juga sedang mencari udara segar juga.
          “Assalamu’alaikum.” sapa Si Pemuda.
          “Wa’alaikum salam.” balas ketiga anak serempak.
          Pak Tua tersenyum. Mereka terus berjalan.
          “Tahukah Nak?” tanya Pak Tua.
          “Tahu apa Mbah?”
          “Menurutmu orang yang lembut tu yang seperti apa?”
          Si Pemuda terdiam, ia belum langsung menjawab. Pak Tua tersenyum melihatnya. Sepintas memang mudah, tapi Si Pemuda tak ingin menjawab asal-asalan.
          “Susah Nak?”
          “Tidak,”
          Melihat mimik wajah Si Pemuda Pak Tua tau, bahwa ia agak bingung.
          “Tahukah kamu dengan tokoh Umar bin Khatob Nak?”
          “Ya, beliau sahabat yang mulia.”
          “Beliau orang yang lembut atau bukan?”
          Si Pemuda menundukan kepala, beliau berwatak keras, namun beliaupun seorang yang lembu pulat. Katanya dalam hati.
          “Yang saya tahu beliau memiliki watak yang keras.” kata Si Pemuda.
          “Benar,” Pak Tua tersenyum. “Namun yang lebih benar beliau adalah seorang yang sangat lembut. Pernah mendengar beliau memembawa sekantong gandum, padahal saat itu beliau seorang khalifah.”
          Si Pemuda menganggukan kepalanya.
          “Pernah mendengar pula saat beliau bertemu dengan seorang anak yang sedang bermain burung, beliau begitu lembut cara menasihati agar burung itu di lepas.”
          Si Pemuda mengangguk lagi.
          “Nah itulah Nak orang yang lembut.” Pak Tua mulai menjelaskan. “Orang itu biasanya sangat peduli terhadap orang fakir miskin. Tidak hanya itu, orang yang seperti itu biasanya juga baik terhadap anak-anak.
          “Nah jika kamu ingin memiliki sifat lembut, milikilah dua sifat akhlak ini, peduli terhadap orang-orang fakir miskin dan sayangilah anak-anak. Ya walaupun banyak cara lain, namun menurutku ini dasar, yang lain pasti ngikut. Hehee.
          “Jika beliau seorang yang lembut, tapi beliau sangat keras ketika seseorang atau suatu kaum melakukan kemungkaran, jadi bagaimana itu Mbah, kok bisa beliau seorang yang lembut?” tanya Si Pemuda.
          Pak Tua terkekeh. “Nah pertanyaan yang baik Nak. Sejatinya itulah kelembutan. Kok bisa. Sebenarnya seorang yang ketika ada kemungkaran tapi ia tak mempedulikan itulah orang yang berwatak keras. Sangat keras malah. La iakan, berarti orang itu tak memiliki rasa kasihan. La wong  ada yang melakukan dosa, masa tak kasihan, masa ia tidak kasihan orang itu di murkai Allah. Jadi di mana sifat kelembutan itu. Nah itulah, bahwa kelembutan itu sebuah kepepedulian.”
          “Terus menyayangi anak-anak tu juga kelembutan, maksudnya?” tanya Si Pemuda.
          “Ya, mereka adalah harapan masa depan, jadi jika kamu menyayangi anak-anak berarti kamu menyayangi masa depan. Baik masa depan di dunia atau di akhirat, baik masa depan untuk diri sendiri atau untuk orang lain. Itulah yang di ajarkan nabi kita, Muhammad saw., nah bukankah indah isam. Hehee.”       
          Mereka tetawa kecil. Pak Tua menepuk pundak Si Pemuda.
          “Ingat Nak, ini sangat penting. Ketika seorang anak melakukan kesalah jangan langsung marah terhada si anak itu, kita nasihati, seperti Umar itu. Kamu harus tau bahwa ia belum tahu, karenanya nasihatilah, terangkan ini yang baik ini yang buruk.
          “Ya karena seorang anak, biasanya ia tak langsung menangkap apa yang kita omongkan, tapi jika sering diingatkan insya Alloh lawas. Jadi inilah manfaatnya, dengan menyayangi anak-anak, dekat dengan anak kita di tuntut sabar, takun, harus bisa jadi teladan yang baik, harus memiliki pengetahuan luas. Ujung-ujungnya kelembutan juga kan. Hee
          “Masya Alloh ya Mbah, begitu indah islam. Terima kasih untuk ilmunya.” kata Si Pemuda. Ia begitu bahagia. Baginya bertambahnya ilmu adalah kebahagiaaan yang tak terkira. Karena ilmu itu cahaya. Ilmu juga yang mengangkat derajat, menyelamatkan kita di dunia dan akhirat. Tentu dengan izin Allah.
          “Kita sampai di sini jalan-jalannya, sudah lumayan tinggi mataharinya, mari kita Pulang.” ajak Pak Tua.
          “Oke…” kata Si Pemuda. Maha Suci Engkau, dan segala puji bagi-Mu, sungguh kami tak luput dari kealahan, karena Engkaulah yang Maha Hak, maka Ampunilah kami.  Katanya dalam hati.