Friday, July 31, 2015

Cerpen - Bak Ulat


Bak Ulat
          “Sedang apa Nak , kok sendirian?” kata suara datang tiba-tiba.
          “Oh, Mbah.” jawabnya dengan gugup. “Assalamu’alaikum.”
          “Wa’alaikum salam.” Pak Tua tersenyum melihat Si Pemuda. “Menggagnggu ya Nak?”
          “Tidak, tidak, malah senang kok.”
          “Begitu tenang suasana di sini,” puji Pak Tua. “kamu begitu telaten merawat pekarangan ini. Pemuda memang harusnya begitu, rajin, selalu jaga kebersihan, telaten, dan dapat mengubah yang biasa-biasa menjadi luar biasa.”
Si Pemuda menggaruk-garuk kepala. Di lihat perkarangan rumahnya memang kecil, sekitar sepuluh meteran kali tiga meter. Namun indah, sejuk di pandang, dan menentramkan. Begitu telatenya Si Pemuda merawatnya. “Apa harus Mbah?”
          “Bukan Cuma harus Nak, tapi suangat harus.” canda Pak Tua.
Kehangatan obrolan mereka berlanjut. Ngalor ngidul pokoknya.
Senandung gemercik air mengalun indah. Sepoi-sepoi angin berhembus lembut. Dedunan melambai-lambai dari tangkai-tangkai pohon.
          “Kau lihat itu Nak?” Pak Tua mengarahkan jari telunjuknya keseekor ulat di ranting pohon yang rendah.
          Si Pemuda mengangguk. “Memiliki makna yang sangat dalam dari padanya ya Mbah.” kata Si Pemuda lembut.
          Pak Tua senyum, mungkin sama dengan apa yang dipikirkan. Suasana hening cukup lama. Ya mereka sedang menghayti makna dari seekor ulat itu.
          “Begitulah seharusnya Nak.”
          Si Pemuda tersenyum, “Harus kuat mental.”
          “Kekuatan mental kan harus di bangun. Tak datang tiba-tiba Nak,” kata Pak Tua dengan tenang. “Betapa indahnya ulat itu ya Nak, esok.”
          “Ya esok. Namun untuk saat ini penuh cobaan,” Si Pemuda mengerutkan keningnya. “banyak yang menghina dan mencaci, baik dari bentuk rupanya, berjalannya, dan di lihat pun menjijikan serta menggelikan.”
          “Ya begitulah Nak. Mulailah dari sekarang, mumpung masih muda. Walau penghinaan, cacian atau apapun lah datang kepadamu, kau jangan menciut nyalinya. Malah pada hakikatnya itu pembangunan mental, dan mental tu sangat penting. Inilah yang di miliki para pemenang. Bahkan Nabi kita begitu, dengannya akan tumbuh optimisme, ketawadu kan.
          “Pemuda tu jangan takut dengan cacian, salah, atau sejenisnya. Pemuda tu harus berani. Salah dalam belajar kan nda apa-apa, wajar. Dan ingat Nak, seorang pemuda jangan menjadikan ‘sibuk’ sebagai alasan. Carilah alasan yang jelas dan tegas. Ingat kisah Nabi Ibrahim di Al qur’an?”
“Ya, beliau pemuda revolusioner.” kata Si Pemuda.
“Benar. Saat itu beliau di utus masih muda. Ya pemuda. Dan tahukah kamu Nak, apa isi kandungan dari kisah beliau, ternyata pemuda tu akal harus digunakan, ini yang pertama, berpikirlah kritis, perbanyaklah mengambil hasanah ilmu di sekitar, bukankah ini yang dilakukan nabi Ibrahim pertama kali. Karenanya jadi pemuda tu jangan seneng leha-leha.
“Sayyidina Ali berkata ‘Akal yang selalu di isi akan menang’, jadilah pemuda yang haus akan ilmu, dan buah ilmu adalah amal. Indahkan islam.”
          “Baiklah Mbah, bantu aku agar tetap semangat.” Si Pemuda terkekeh.
          “Dan satu lagi Nak,” Pak Tua menatap sungguh-sungguh pada Si Pemuda.
          “Ya, apa Mbah.” Si Pemuda pun membalas tatapannya. Mengisaratkan sesuatu yang sangat penting.
          “Jadi Pemuda jangan takut sendirian. Bertindaklah jika itu benar.”
          Si Pemuda menganggukan kepala. Begitu mengesan perkatan Pak Tua, bagi Si Pemuda bak air yang menyegarkan tenggorokan di kala dahaga.
          “Mari, hampir asar Nak.” Pak Tua berdiri. Kemudian di ikuti Si Pemuda.
          Alhamdulillah, kataSi Pemuda dalam hati. Maha Suci Engkau, dan ampunilah kami, sungguh kami tak luput dari kesalahan. Karena Engkaulah Yang Maha Haq.