Monday, October 20, 2014

Nikmatnya membaca (Entermezo)



Nikmatnya membaca
          “Buatlah resensi, waktu dua minggu untuk dikumpulkan.” kata guru bahasa Indonesiaku.
          Waduh cepet amat ya. Nah inilah peristiwa yang begitu mengesankan dalam hidupku, saat  itu kududuk di bangku kelas tiga sekolah menengah atas. Berawal dari tugas itulah aku suka membaca. Pada awalnya  memang aku tak menyukai membaca. Ya, mungkin dari kecil memang tak ada yang mendorongku untuk membaca. Bahkan aku bisa membaca lancar di kelas tiga SD. Namun di sisi lain ada kelebihan saat aku kecil, yaitu pandai dalam menggambar.  Hehee. (Kembali lagi). Sehingga aku kagum kepada anak sekarang yang bahkan belum duduk di bangku sekolah sudah faseh membaca. Subhanalloh
          Bagiku saat itu, membaca merupakan suatu hal yang sangat dan sangat mebosankan. Kenapa? Karena setiapku membaca mataku tak mau kompromi, begitu berat rasa kantuknya. Selain itu, ketika aku membaca, aku seakan tak yang masuk. Ibarat memasukan air pada wadah yang berlubang. Kacau pokoknya. Kalaupun ada buku bacaan, yang kucari pertama adalah gambarnya. Hehe
          Namun sekarang berputar 3600. Ya kira-kira sebesar itulah. Alhamdulillah lantaran dari membuat tugas resensi  aku mulai menyukai membaca. Kok  resensi ya, tapi itulah adanya. Untuk membuat resensi memang harus membaca terlebih dahulu. Jika tidak, sepertinya tak jadi resensi. Ya mau tidak mau  aku harus melakukannya untuk memenuhi tugasku. Bahkan buku yang aku cari pun buku yang tipis., yaitu buku karangan Gola Gong berjudul ‘Dua Matahari’. Pokoknya luar biasa lah bagiku pengalaman ini. Bahkan saat teringat hal itu aku tersenyum sendiri. ‘Dua Matahari’ judul bukunya, karya Gola Gong.
          Tak sampai satu bulan Alhamdulillah membaca merupakan kegiatan baru yang kusukai untuk mengisi waktu kosongku. Sengaja aku memilih fiksi petualangan, harapanku saat itu untuk tambah menunjang kegiatan membacaku.  Selain itu akupun mulai mencoba menulis. Resensi itulah coretan panjangku yang pertama.
          Beberapa bulan, tulisanku ada yang di posting di blog. Betapa bahagianya saat itu. Seakan itulah penghargaan pertamaku. Inilah pelecut semangatku dalam membaca dan menulis. Dalam hal menulisku memang tidak bagus-bagus amat, tapi aku selalu berusaha. Kritikan pun tak lepas dari guru bahasaku, yang beginilah, begitulah. Rasa malu pun tak ketinggalan. Dalam batinku, ini semua untuk perbuhan yang lebih baik padaku.
Kuteringat tentang “Iqra”, bacalah. Itulah firman Allah yang di wahyukan pada sang rosul yang mulia. Alhamdulillah, bagiku membaca memang suatu yang amat penting. Saat membuka lembaran buku seakan sedang  membuka samudra ilmu. Manfaat yang diperoleh pun banyak. Kita bisa mengetahui sesuatu yang belum kita ketahui, wawasan pun semakin bertambah, dan banyak manfaat lainnya. Di samping itu, membaca bisa menjadi lantaran mencegah kepikunan. Untukku sendiri membaca juga memotivasiku untuk menulis.

Tuesday, September 9, 2014

Ketahuan (Intermezo)


Ketahuan


Bismillahirrahmaanirrahiim
Pengalaman hidup memang sangat menarik, pengalaman mengingatkan kepada sesuatu yang pernah kita alami dahulu, dan dapat diceritakan kepada siapapun dengan kehendak kita.
***
Aku berangkat sekolah dengan penuh semangat, bahwa nanti akan bisa mengerjakan soal sosiologi. Saat itu sedang ada mid smester disekolahku. Sesampainya di sekolah, ada seorang teman yang memanggilku, dia adalah sahabatku.
“Mafud”. Aku tengak-tengok kebingungan, siapa y, kata dalam hatiku.
Tidak lama kemudian dia menampakan dirinya
“Door..r,..r...!”
Dengan suara keras yang menusuk telinga kananku.
“Gak kaget lah.”
Dia kemudian menanyakan sesuatu yang membuatku bingung.
“Gimana Fud?”
“Apanya Zi?”
“Biasa lah, catatanmu”.
“Oh kirain apa, udah dong, lah kamu si?”
“Sudah beres juga dong.”
Tak lama kemudian setelah berbincang-bincang bel berbunyi, tanda sudah masuk.
Tettt..tt.. tett..tt.. tett..tt…
Suara ringan yang keluar dari sebuah alat yang terpasang di tembok dekat tiang.
Kami pun masuk berbondong-bondong dengan tertib dan siap untuk mengikuti ulangan mid semester, walau terlihat masih ada beberapa anak yang masih sibuk belajar. Kelasku duduk bersama dengan kelas XII, tepatnya di ruang 3. Posisi duduku dibarisan paling utara nomor 3 dari depan. Aku duduk dengan kaka kelas perempuan. Temanku yang di belakang dan di depan tempat duduku lumayan cukup pintar. Di jam pertama ini Bu Asih giliran menjaga ruanganku ini untuk mengawasi anak- anak. Dengan wajah tegasnya dibarengi senyum imutnya Bu Asih mengucapkan salam,
“Assalamu’alaikum..”
Dengan serentak kami menjawab salamnya. “Wa’alaikum salam.”
“Sebeum dimulai, mari kita berdo’a dahulu”. kata Bu Asih menyuruh kita berdo’a.
Ketua kaka kelas pun menyiapkan dengan tegasnya. Setelah selesai berdoa kami siap menerima soalnya.
“Jangan menyotek, kerjakan dengan jujur, jangan tengak tengok nanti kepalanya sakit”. canda Bu Asih sambil membagi kertas yang berisikan soal-soalnya.
“iya Bu!” jawab kami serentak.
Kami pun membalas dengan senyuman. Ada seorang dari kaka kelas menyahut
“Oh ya, oke lah bu, tidak boleh nyontek, kalau nurun berarti boleh dong.” semua pun tertawa atas balasan ucapan kaka kelas itu.
Setelah soal selesai diberikan kami siap mengerjakan, dan tak terkecuali aku. Bu Asih berjalan ke setiap meja menanda tangani kartu peserta ujian mid smester. Setelah selesai menulis nama dan kelas, aku mulai beraksi.
Dengan suara lirih aku memanggil Ozi, temankuZi nomor 4”.
Ozi pun membalasnya “belum, baru nulis nama”.
Tiba-tiba Bu Asih memperingatkan. “Sssttttt..tt., kerjakan sendiri!”
Sambil menuggu Bu Asih duduk dan tidak memerhatikan muridnya, aku mengerjakamn yang mudah dahulu. Setelah semua tenang, dan Bu Asih duduk sambil  berbincang-bincang dengan pengawas yang satunya aku mulai melancarkan aksi yang menurutku amat jitu. Contekan yang aku letakan di kaos kaki siap ku rogoh. Dengan berlahan tangan satuku menyeliap. Tiba-tiba terdengar suara yang datang ke telingaku “kletak-kletuk”. Aku tak menghiraukannya. Padahal itu suara sepatu Bu Asih yang sedang mendekat. Saat itu wajahku sedang tertunduk ke bawah, sehingga tidak melihatnya. Dengan berlahan aku mengambil contekanku tanpa melihat situasi dan kondisi.
“Hayo, lagi ngapain itu Mahfud?”
Aku kaget, tidak bisa berkutik saat itu. Tiba-tiba Bu Asih memerintahkan untuk menunjukan kepadanya. “Cepat keluarkan!”
Aku menjawabnya. “Bukan apa-apa Bu, cuma gatal”.
Bu Asih tidak percaya, dan terus mendesak aku agar mengeluarkannya. Dengan nada agak menghentak mengatakan. “CEPAT!”
Dengan terpaksa aku mengeluarkannya. Semua pandanga teman-teman tertuju padaku semua, aku amat malu. Kemudian Bu Asih berkata. “Dah lanjutkan kerjakan, jangan nyontek!”
Aku sangat bingung untuk mengerjakanya, apalagi mapelnya sosialogi yang cukup banyak jawabannya juga pengertiannya dan lain-lain, akhirnya kukerjakan sendiri semua soal itu, kira-kira 60 menit waktu yang kupakai dari 120 menit yang disediakan, kemudian aku langsung keluar dan menuju kantin, tak lama kemudian ada temanku ikut keluar.
Setelah di kantin temanku sambil tertawa mengatakan. “Lagi-lagi hati-hati mau nyontek, lihat-lihat dulu.”
Aku termenung, mengingat kejadian tadi, dan menjawab pernyataan temanku itu. “Ya lah, gampang.”

***

Saturday, August 30, 2014

Puisi



Jauh di angkasa
Bertabur bahagia dengan para bintang
Cahyamu terang
Menandakan kebahagiaan
Yang  memecah keheningan malam
Sepucuk kata dari sang pena untukmu
Salam sejahtera wahai sang Rembulan


Thursday, July 31, 2014

Nasehat Sang Guru (Cerpen)


                   Nasehat sang Guru
          “Lam kemarin pagi kemana?” tanya Bu Yanti pada anaknya.
          “Sekolah bu.” jawabnya singkat.
          “Jangan bohong pada ibu.” katanya kembali.
          “B, , be, , , bene, , ran.” Salam tergagap.
          “Lagi-lagi jangan diulangi ya,” kata Bu Yanti dengan tenang. “ibu dah tau kok.”
Tak lama Bu Yanti meninggalkan Salam dengan membawa rinjing1. Ia akan berjualan tempe keliling desa seperti bisa. Ia sekarang menjadi tulang punggung keluarganya. Salam masih tertunduk malu. Dia telah membohongi sang Ibu.
“Maafkan Salam tadi telah membohongi ibu. Aku tak ingin mengulangi lagi. Kasihannya ibu. Sekali lagi maafkan Salam Bu. Begitu durhakanya aku.” Katanya dalam hati, menyesali dirinya sendiri.
Bu Yanti memang orangnya lembut, ia tak pernah memarahi anak-anaknya apabila melakukan kesalahan. Dengan kelembutan sifat inilah kedekatan dengan sang anak begitu indah dan juga sang anak mungkin terasa lebih mudah menerima apa yang disampaikan oleh ibunya. Yang diharapkan Bu Yanti dengan mengajarkan kelembutan pada anak-anaknya agar kelak anak-anaknya pun memiliki sifat lembut dan penuh kasih terhadap sesama.
Salam adalah anak keduanya. Sang kakak, Wahid. Sedang kuliah sambil bekerja di luar kota. Wahid kuliah membiayai sendiri dari hasil bekerjanya. Sang suami telah meninggal dunia lima tahun lalu.
                                                     ***
          Udara begitu segar, sang mentari masih malu-malu menampakan dirinya. Kokok ayam memeriahkan suasana pagi.
 Jadwal Salam di hari Minggu ini adalah bersih-bersih rumah dan membantu ibu membuat tempe. Sesekali ia kekebun untuk melihat pohon Mahoni yang ditanamnya sendiri. Ketika ia sedang menyapu  lantai di balai2 rumanhya, terdengar suara yang membuatnya agak kaget.
 “Rajinnya cucuku.” kata suara itu. “pagi-pagi udah nyapu.”
Salam memalingkan wajahnya ke sumber suara itu.
“Oh Mbah Bejo rupanya.”  berkata Salam penuh hormat. “ Buat kaget aja mbah Bejo.”
Ya, Mbah Bejo namanya. Beliau adalah tetangga dan juga guru ngaji Salam. Beliau memang sesepuh3 di desanya. Walau sepuh, namun ilmu pengetahuannya amat luas. Sehingga beliau selalu menjadi rujukan masyarakat  apabila ada masalah-masalah. Beliaupun begitu dihormati. Walau demikian, beliau masih tetap rendah hati. Beliau tinggal bersama isterinya. Kedua putranya sudah menjadi uztad, dan mengajar di pondok, di luar kota. Mereka pulang 6 bulan sekali.
“Memang harus begitu, selagi masih anak-anak harus rajin. Agar kelak rajinnya bertambah terus. Hehe” kata mbah Bejo sambil tertawa. “Nanti siang mampir ya Lam. Mbah tunggu di balai rumah mbah.”
“Oke mbah.” kata Salam sambil mengacungkan ibu jarinya.
                        ***
“Bu Salam mau kerumah Mbah Bejo. Tadi pagi beliau menyuruh untuk mampir.” kata salam
“Ya, hati-hati.” singkat Bu Yanti.
Salam keluar rumah, terlihat Mbah Bejo sudah duduk di risbannya4 sambil ditemani secangkir kopi. Seperti sahabat aja mereka, Salam membatin sambil melangkahkan kakinya menuju rumah Mbah Bejo.
“Oh cucuku.” kata Mbah Bejo, terlihat salah satu giginya yang masih tersisa.
Sesampainya, mereka berdua saling diam. Hening. Sambil menatap langin, juga  menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah mereka.
“Ada apa to mbah.” Salam membuka keheningan.
Mereka saling ngobrol penuh suka ria. Salam merupakan murid kesayangannya. Dia sudah di anggap menjadi cucunya. Mbah Bejo kadang teringat pesan dari alm. Pak Imam, Ayah Salam sebelum meninggal. Saat sebelum meninggal, beliau berpesan untuk mendidik anaknya, yaitu Wahid dan Salam agar anak-anaknya di didik mengaji, agar bisa menjadi anak yang pntar, soleh, berbakti pada kedua orang tua, dan penuh kasih pada sesama. Wahidlah bukti dari didikan Mbah Bejo salah satunya, yang kemudian Wahid mengembangkan ilmunya di pondok pesantren, di luar kota.
Mereka berdua begitu menikmati suasana siang hari dengan semilir angin. Tak terasa waktu hampir memasuki shalat Asar.
“Dah hampir Asar mbah.” kata Salam.
 Sabelum pulang salam di kasih nasehat oleh Mbah Bejo.
“Sebelum pulang. Kakek mau kasih sesuatu, kamu mau nggak?” kata mbah Bejo.
          “Apa mbah?” Salam balik tanya.
          Mbah Bejo senyum, sekarang terlihat pipinya yang kempot menambah pesona. Salam begitu penasaran. Dalam hati ia berpikir akan di beri uang. Memang ada-ada saja Salam.
          Kakek tahu kejadian yang di alami dua hari lalu, dan kejadian itu yang ngasih tahu pun Mbah. Dan Mbah di kasih tau oleh seseorang” katanya.
“Ya Mbah, Salam menyesal, dan tak akan kuulangi lagi.” Salam sambil menundukan kepala.
“Ya nda papa, namanya juga anak-anak.” Mbah bejo memaklumi. “Nah apakah kamu ingin tau orang yang berani lagi baik budi pekertinya?”
          “Ya mbah, mau.” kata Salam.
          “Peliharalah kejujuran. Karena kejujuran itu pangkal keberanian, siapa yang jujur, mereka itulah seorang yang berani. Dan orang yang berbohong adalah orang yang pecundang. Dan kejujuran merupakan sifat yang di anugerahkan pada hamaba-hamba-Nya yang shaleh, seperti Rosulullah SAW.
“Dan ingatlah satu lagi cucuku, tebarkanlah kasih sayang. Sifat inilah yang Allah anugerahkan pula kepada hamba-hamba-Nya yang shaleh. Dan kasih sayang pula sifat Allah yang pertama di beri tahu kepada para hamba-Nya, yang termaktub dalam kalimat ‘Bismillaahirrah maanirra hiim, dan Asma ul husna-Nya, ‘Ar Rahman’.” mbah Bejo memberi tahu.
          “Iya Mbah,” kata salam masih menundukan kepala. “terima kasih untuk nasehatnya. Akan saya pegang nasehat ini.”
          Salam pun pamit untuk pulang. Merekapun berpisah. Dan alangkah indahnya pertemuan mereka hari ini.







1.      Rinjing : bakul yang bertangkai terbuat dari anyaman bambu dsb.
2.      Balai : bagian depan rumah atau teras rumah.
3.      Sepuh : a. orang yg tertua dalam masyarakat; b. orang yg dituakan atau dijadikan pemimpin karena banyak pengalaman atau wawasan ilmu pengetahuannya.
4.      Risban : kursi panjang terbuat dari kayu untuk bersantai di teras atau di   ruang.