Tuesday, February 2, 2016

Cerpen



UNDER THE RAIN



Hari ini hujan turun lagi.
Seperti biasa, aku sedang meringkuk manja di pangkuan majikanku, duduk di atas kursi goyang di sebuah rumah tua. Wanita ini begitu menyayangiku. Nyatanya memang hanya aku yang dia miliki. Aku tidak habis pikir mengapa dia masih melajang di usia senjanya.
Dengan penuh kasih sayang, tangan yang mulai berkeriput itu membelai buluku. Di antara rintik hujan, dia mulai bercerita. Cerita yang sama setiap kali hujan turun, tentang pria itu.
***
Di suatu malam, tepatnya saat masih duduk di bangku SMA, dia pernah tersesat di sebuah gang. Maklum, itu kali pertamanya merantau ke kota lain untuk meneruskan pendidikannya. Ada banyak tugas yang perlu dia selesaikan bersama kelompok belajarnya. Aku−yang saat itu masih sangat muda−hanya bisa mengeong di dekapannya. Jam sudah menunjukkan pukul 21.34. Badannya sudah cukup basah. Hujan menambah suasana gelap dan dingin di antara rumah-rumah yang nampak sepi. Jalan becek membuat orang-orang enggan keluar dari rumah. Kejadian ini membuatnya semakin membenci hujan. Entah mengapa saat hujan turun, kesialan selalu terjadi padanya.
Akhirnya dia sampai di ujung gang. Di seberang jalan beraspal yang cukup luas, ada seseorang di halte bus. Dia bergegas menghampiri pria seumurannya itu.
“Maaf, apa kau tau kita sedang dimana ? Aku tersesat. Setahuku hanya ada satu kos putri di daerah sini. Apakah kau bisa mengantarkanku kesana ?” dia memberanikan diri bertanya.
“Tentu saja,” tak disangka pria itu menyambut dengan senyum ramah sembari membuka payung lipatnya.
Tentu saja ada kecanggungan karena baru pernah berjalan bersama. Namun entah mengapa, wanita ini merasa begitu tenang.Terasa terlindungi, sangat nyaman. Saat itu juga dia merasakan hal yang berbeda. Berhari-hari kemudian pun perasaan itu belum kunjung hilang. Setiap hujan datang, dia rela pulang sekolah melewati jalan memutar agar melewati halte tempat mereka bertemu. Mencari pria itu.
***
Hujan mulai reda, burung-burung di halaman rumah kami mulai keluar dari sarangnya.
“Kau tau ? Sejak saat itu, aku sangat menyukai hujan. Bahkan aku selalu menunggu hujan turun. Menyebrangi jalan, menyusuri halte-halte bus di kota ini. Aku belum bisa berpaling darinya. Apa kau percaya jika dia sedang mencariku juga ? Aku sangat yakin Tuhan telah menakdirkan kami untuk bersama,” sambungnya dengan penuh harap. Aku membalas dengan memandangi matanya yang sayu.
Andai saja Tuhan mengizinkan aku untuk bercerita padanya tentang kejadian setelah itu. Dari mataku yang mungil, aku melihat ke belakang lewat pundak gadis itu. Nampak lampu mobil yang dengan cepat menerjang tubuh si pria yang malang. Belum sempat aku melihat apa yang terjadi selanjutnya, gadis ini sudah masuk ke kamarnya dengan wajah yang berseri-seri. Sejak saat itu, aku tak pernah melihat pria itu dimanapun. Tapi sayang, aku tidak tahu bagaimana cara memberi tahu kebenarannya pada wanita polos ini.
~END~

Sunday, January 17, 2016

Puisi (Karya Sahabatku)



Duka Negara
Tirani laknat berpedang genosida
Perlahan menjerat si jelata
Mengarungi panasnya kehinaan
Menerjang runcingnya logika normal
Nasionalis tak mampu jadi pemenang
Dalam dunia yang egois
Rasional bukan lagi modal dasar kebebasan
Di persembunyiannya
Jiwa suci berlutut
Khusyu’ menguraikan tinta dengan air mata
Di atas lembar kertas tua
Menuliskan pertaubatan, do’a, dan harapan
Semoga cahaya dapat datang kembali
Bersama angin kertas itu pergi
Menerbangkan bulir-bulir asa
Berupa bait curahan perasaan
Dari ribuan nyawa atas penyiksaan
Menggantikan keadilan,
Penindasan mengapital di negara nista

PEMBALAS­AN
By : Maziyyatul Mufiedah
Dapatkah  kau  dengar  rintihan  itu ?
Jeritan  siksa  tiap-tiap  jiwa
Aroma  bunga  kematian  menyesakkan  dada
Bersiaplah  untuk  melihat  kilatan  pedang  tanpa  karat
Yang  diasah  dengan  sejuta  tangis penyesalan
Buah  dari  tiap  butir  yang  kau  telan
Balasan  dari  tiap  lembar  yang  kau  hisap
Jawaban  dari  tiap  tetes  yang  kau  suntikkan

Sudah  berakhir
Euforia  tak  menemanimu  disini
Sebentar  lagi  dasar  neraka  menimpamu
Ikuti  aku,  lalui  jalan  berliku  tanpa  cahaya
Terjerat  terali besi berselimut api
Saat  roh mulai bangkit dari kulitnya
Pintu  ampun  sudah  ditutup
Ucapkan  selamat  tinggal  pada  senyuman
Jiwa  kosong  dirundung  dosa
Yang hilang tertikam belati Tuhan




Maziyyatul Mufiedah, yang biasa di panggil Fida, lahir di banjarnegara, 10 Maret 2000, siswi kelas VII SMP 1 Wanadadi 12/13,  Ia tinggal di Lengkong, Rt 02/04. Hobinya membaca, dia juga gemar menonton film, dan suka pancak silat.