UNDER THE RAIN
Seperti biasa, aku sedang
meringkuk manja di pangkuan majikanku, duduk di atas kursi goyang di sebuah
rumah tua. Wanita ini begitu menyayangiku. Nyatanya memang hanya aku yang dia
miliki. Aku tidak habis pikir mengapa dia masih melajang di usia senjanya.
Dengan penuh kasih
sayang, tangan yang mulai berkeriput itu membelai buluku. Di antara rintik
hujan, dia mulai bercerita. Cerita yang sama setiap kali hujan turun, tentang pria
itu.
***
Di suatu malam, tepatnya
saat masih duduk di bangku SMA, dia pernah tersesat di sebuah gang. Maklum, itu
kali pertamanya merantau ke kota lain untuk meneruskan pendidikannya. Ada
banyak tugas yang perlu dia selesaikan bersama kelompok belajarnya. Aku−yang
saat itu masih sangat muda−hanya bisa mengeong di dekapannya. Jam sudah
menunjukkan pukul 21.34. Badannya sudah cukup basah. Hujan menambah suasana
gelap dan dingin di antara rumah-rumah yang nampak sepi. Jalan becek membuat
orang-orang enggan keluar dari rumah. Kejadian ini membuatnya semakin membenci
hujan. Entah mengapa saat hujan turun, kesialan selalu terjadi padanya.
Akhirnya dia sampai di
ujung gang. Di seberang jalan beraspal yang cukup luas, ada seseorang di halte bus. Dia
bergegas menghampiri pria seumurannya itu.
“Maaf, apa kau tau kita
sedang dimana ? Aku tersesat. Setahuku hanya ada satu kos putri di daerah sini.
Apakah kau bisa mengantarkanku kesana ?” dia memberanikan diri bertanya.
“Tentu saja,” tak
disangka pria itu menyambut dengan senyum ramah sembari membuka payung
lipatnya.
Tentu saja ada kecanggungan
karena baru pernah berjalan bersama. Namun entah mengapa, wanita ini merasa
begitu tenang.Terasa terlindungi, sangat nyaman. Saat itu juga dia merasakan
hal yang berbeda. Berhari-hari kemudian pun perasaan itu belum kunjung hilang.
Setiap hujan datang, dia rela pulang sekolah melewati jalan memutar agar melewati
halte tempat mereka bertemu. Mencari pria itu.
***
Hujan mulai reda,
burung-burung di halaman rumah kami mulai keluar dari sarangnya.
“Kau tau ? Sejak saat
itu, aku sangat menyukai hujan. Bahkan aku selalu menunggu hujan turun.
Menyebrangi jalan, menyusuri halte-halte bus di kota ini. Aku belum bisa
berpaling darinya. Apa kau percaya jika dia sedang mencariku juga ? Aku sangat
yakin Tuhan telah menakdirkan kami untuk bersama,” sambungnya dengan penuh
harap. Aku membalas dengan memandangi matanya yang sayu.
Andai saja Tuhan
mengizinkan aku untuk bercerita padanya tentang kejadian setelah itu. Dari
mataku yang mungil, aku melihat ke belakang lewat pundak gadis itu. Nampak
lampu mobil yang dengan cepat menerjang tubuh si pria yang malang. Belum sempat
aku melihat apa yang terjadi selanjutnya, gadis ini sudah masuk ke kamarnya
dengan wajah yang berseri-seri. Sejak saat itu, aku tak
pernah melihat pria itu dimanapun. Tapi sayang, aku tidak tahu bagaimana cara
memberi tahu kebenarannya pada wanita polos ini.
~END~