Kelembutan
“Rajinya Nak, masih petang dah mulai bersih-bersih.” canda Pak
Tua pada Si Pemuda.
Si pemuda
tersenyum.
“Kita cari udara
segar dulu Nak.”
“Kemana?”
“Kemanapun.”
Si Pemuda
berjalan mendekati Pak Tua. Mereka pun berjalan bersama, Si Pemuda selangkah si
belakang Pak Tua. Setelah beberpa meter bejalan mereka berpapasan dengan tiga
anak kecil. Umurnya sepadan, sekitar delapan tahun. Mungkin mereka juga sedang
mencari udara segar juga.
“Assalamu’alaikum.”
sapa Si Pemuda.
“Wa’alaikum
salam.” balas ketiga anak serempak.
Pak Tua
tersenyum. Mereka terus berjalan.
“Tahukah Nak?” tanya
Pak Tua.
“Tahu apa Mbah?”
“Menurutmu orang
yang lembut tu yang seperti apa?”
Si Pemuda terdiam,
ia belum langsung menjawab. Pak Tua tersenyum melihatnya. Sepintas memang
mudah, tapi Si Pemuda tak ingin menjawab asal-asalan.
“Susah Nak?”
“Tidak,”
Melihat mimik wajah
Si Pemuda Pak Tua tau, bahwa ia agak bingung.
“Tahukah kamu
dengan tokoh Umar bin Khatob Nak?”
“Ya, beliau
sahabat yang mulia.”
“Beliau orang
yang lembut atau bukan?”
Si Pemuda
menundukan kepala, beliau berwatak keras, namun beliaupun seorang yang lembu
pulat. Katanya dalam hati.
“Yang saya tahu
beliau memiliki watak yang keras.” kata Si Pemuda.
“Benar,” Pak Tua
tersenyum. “Namun yang lebih benar beliau adalah seorang yang sangat lembut.
Pernah mendengar beliau memembawa sekantong gandum, padahal saat itu beliau
seorang khalifah.”
Si Pemuda
menganggukan kepalanya.
“Pernah mendengar
pula saat beliau bertemu dengan seorang anak yang sedang bermain burung, beliau
begitu lembut cara menasihati agar burung itu di lepas.”
Si Pemuda
mengangguk lagi.
“Nah itulah Nak
orang yang lembut.” Pak Tua mulai menjelaskan. “Orang itu biasanya sangat
peduli terhadap orang fakir miskin. Tidak hanya itu, orang yang seperti itu
biasanya juga baik terhadap anak-anak.
“Nah jika kamu
ingin memiliki sifat lembut, milikilah dua sifat akhlak ini, peduli terhadap
orang-orang fakir miskin dan sayangilah anak-anak. Ya walaupun banyak cara
lain, namun menurutku ini dasar, yang lain pasti ngikut. Hehee.
“Jika beliau
seorang yang lembut, tapi beliau sangat keras ketika seseorang atau suatu kaum
melakukan kemungkaran, jadi bagaimana itu Mbah, kok bisa beliau seorang
yang lembut?” tanya Si Pemuda.
Pak Tua terkekeh.
“Nah pertanyaan yang baik Nak. Sejatinya itulah kelembutan. Kok bisa.
Sebenarnya seorang yang ketika ada kemungkaran tapi ia tak mempedulikan itulah
orang yang berwatak keras. Sangat keras malah. La iakan, berarti orang itu tak
memiliki rasa kasihan. La wong ada yang melakukan dosa, masa tak kasihan,
masa ia tidak kasihan orang itu di murkai Allah. Jadi di mana sifat
kelembutan itu. Nah itulah, bahwa kelembutan itu sebuah kepepedulian.”
“Terus menyayangi
anak-anak tu juga kelembutan, maksudnya?” tanya Si Pemuda.
“Ya, mereka
adalah harapan masa depan, jadi jika kamu menyayangi anak-anak berarti kamu
menyayangi masa depan. Baik masa depan di dunia atau di akhirat, baik masa
depan untuk diri sendiri atau untuk orang lain. Itulah yang di ajarkan nabi
kita, Muhammad saw., nah bukankah indah isam. Hehee.”
Mereka tetawa
kecil. Pak Tua menepuk pundak Si Pemuda.
“Ingat Nak, ini
sangat penting. Ketika seorang anak melakukan kesalah jangan langsung marah
terhada si anak itu, kita nasihati, seperti Umar itu. Kamu harus tau bahwa ia
belum tahu, karenanya nasihatilah, terangkan ini yang baik ini yang buruk.
“Ya karena
seorang anak, biasanya ia tak langsung menangkap apa yang kita omongkan, tapi
jika sering diingatkan insya Alloh lawas. Jadi inilah manfaatnya, dengan
menyayangi anak-anak, dekat dengan anak kita di tuntut sabar, takun, harus bisa
jadi teladan yang baik, harus memiliki pengetahuan luas. Ujung-ujungnya
kelembutan juga kan. Hee
“Masya Alloh ya
Mbah, begitu indah islam. Terima kasih untuk ilmunya.” kata Si Pemuda. Ia
begitu bahagia. Baginya bertambahnya ilmu adalah kebahagiaaan yang tak terkira.
Karena ilmu itu cahaya. Ilmu juga yang mengangkat derajat, menyelamatkan kita
di dunia dan akhirat. Tentu dengan izin Allah.
“Kita sampai di
sini jalan-jalannya, sudah lumayan tinggi mataharinya, mari kita Pulang.” ajak
Pak Tua.
“Oke…” kata Si
Pemuda. Maha Suci Engkau, dan segala puji bagi-Mu, sungguh kami tak luput
dari kealahan, karena Engkaulah yang Maha Hak, maka Ampunilah kami. Katanya dalam hati.