1:40
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
“Ayam milikmukah Nak?”
Si Pemuda tersenyum, tanpa berkata
apa-apa. Pak Tua berjalan mendekati. Beliau sambil menyangking sesuatu di
tangan kirinya. Sebuah gardus di ikat tali rafia.
“Apa yang di dalam gardus itu?” tanya Si
Pemuda sambil menatap gardus milik Pak Tua.
Pak Tua tersenyum. “Oh, ini kutuk. Tau apa itu?”
“Apaan itu?” kata Si Pemuda sambil geleng-geleng.
Pak Tua menepuk pundak Si Pemuda.
“Nanti saja saya jelaskan, mau ikut Nak?”
“Mau. . .mau.” jawabnya penuh
kemantapan. Baginya Pak Tua adalah orang
yang baik, dapat di percaya, jujur, amanah, dan penuh tanggung jawab. Ilmunya
dalam, luas wawasannya, dan juga katanya begitu mengenang dibenaknya. Penuh
hikmah.
“Baca basmalah dulu Nak.” perintah
Pak Tua. “Dengannya kita berharap datang kebaikan di tempat yang kata nabi
adalah tempat yang paling buruk menurut Allah.”
Keduanya saling menatap, saling
berbagi senyum. Dan kata-kata Pak tua itu terhujam kedalam hatinya.
“Saya mau jual anak ayam, dan itulah
jawabannya yang tadi.” kata Pak Tua.
“Jawaban apaan. O.. ya, saya ingat.”
Si Pemudah terkekeh.
“Tu pelajaraan saat sekolah dulu. Nama
anak ayam, dipelajaran bahasa jawa.” Pak Tua pun ikut terkekeh.
***
Sang mentari kian meninggi, cuaca pun semakin
memanas. Pak Tua dan Si Pemuda berjalan menyusuri persawahan. Jarark rumahnya
memang lebih dekat jika di tempuh dari jalan persawahan. Di perjalanan mereka sambil ngobrol. Penuh
ceria.
“Nak. . .” panggil Pak Tua.
“Dalem. . .” jawabnya.
Panggilan itu di ulang-ulang sampai
tiga kali, pun demikian jawaban Si Pemuda tetap sama.
“Taukah kamu Nak?” tanya Pak Tua.
Si Pemuda menggeleng. Pak Tua
memperlambat jalannya. Si Pemuda seperti biasa, ia berjalan dibelakangnya, ia
juga memperlambat langkahnya.
“Begini Nak,” Pak Tua mulai
menjelaskan. “dalam suatu kelompok, terutama di lingkungan masyarakat, pasti
selalu ada orang yang lebih dari yang lain, dan terkadang hanya satu yang
hampir memiliki kesempurnaan.
“Kau tau Nak, dalam kelompok ayam pun
begitu. Contoh, ada dua belas anak ayam yang ditetaskan oleh induknya. Dari dua
belas tersebut biasanya ada satu anak ayam yang memiliki kelebihan, baik dalam
hal kemenarikannya, keberaniannya, dan lain-lain.
“Biasanya anak ayam itu akan lebih disayang oleh tuannya. Tidak
hanya itu, semakin terlihat kelebihannya maka anak ayam itu akan selalu diasah.
Dengan penuh rintangan, cobaan. Misal, jika anak ayam itu pemberani, dan kuat,
maka yang punya akan sering melatihnya dengan bertarung, jika anak ayam itu
indah, maka akan di poles-poles, di adu keindahannya dan sebainya. Berbeda
dengan rekan yang lain, yang lain akan bebas tanpa di apa-apakan.
“Namun taukah perbedaannya, dari nilai kualitas tentu akan lebih
unggul yang selalu di uji oleh tuannya.
Nilai jual pun lebih tinggi. Berbeda dengan yang dibiarkan, hidup asal makan,
atau lainnya. Yang seperti itu tak ada nilai unggul di mata tuannya..
“Nah tahukan kamu Nak, demikian seperti manusia. Dalam suatu
kelompok terkadang hanya ada satu. Semua itu sudah dijelaskan oleh nabi kita. 1:40,
itulah perbandingannya. Seperti anak ayam itu, dalam satu, dari dua belas hanya
satu, pun manusia demikian. Namun itu hanya permisalan dariku.”
Si Pemuda itu manggut-manggut, tanda paham akan penjelasannya.
“Nah, kamulah yang harus jadi yang satu itu, bukan yang empat
puluh. Namun harus terima konsekuensi, kau harus kuat,bersih, berpengetahuan,
harus selalu asah mentalmu, karena
cobaan, tantangan pasti datang silih berganti, dan selalu bertingkat. Maka jika
masalah datang jangan kau hindari, namun hadapilah. Jalan keluar dan solusi
akan datang menghampirimu jika kamu tak lari darinya.”
“Kunci utama harus selalu dekat dengan-Nya. Dengan mengingat, syukur, dan ikhlas kepada-Nya.” kata
Pak Tua mengakhiri penjelasan.
“Terimakasih atas petuahnya Mbah.” Si Pemuda berkata dengan
penuh kelembutan.
Akhirnya mereka berdua sampai di desa. Mereka berpisah
dipertigaan. Kembali kerumah masing-masing.
No comments:
Post a Comment