Monday, June 29, 2015

Cerpen - Air Sumur



Air Sumur
Hari begitu panas, bola api itu seolah berada sejengkal di atas kepala. Kala itu seorang pemuda sedang berjalan dengan peluh keringat. Bola matanya sedikit terpejam, melindungi silaunya cahaya. Sampainya ia mengucapkan salam.
          “Assalamu’alaikum.”
          “Wa’alaikum salam.” jawab Pak Tua. “Gerangan apakah yang mengantarkanmu kesini Nak?”
          Ya, ialah Si Pemuda. Dengan terik yang amat panas, ia rela mengunjunginya. Ia begitu sayang pada Pak Tua.
          “Sebuah pertanyaan.” katanya dengan lembut.
          Pak Tua menganggukan kepala.
          “Ilmu yang bermanfaat.” kata Si Pemuda lirih.
          Mereka berdua diam. Hening cukup lama.
          “Sumur Nak.” kata Pak Tua sambil memandang Si Pemuda.
          Si Pemuda mengerutkan keningnya, apa maksud ucapan Pak Tua itu. Sumur. Suasana pun hening kembali. Mereka menatap langit biru yang di hiasi awan. Indah menyejukan mata. Tepat dimana bola api raksasa sedang terhalang awan.
          “Air sumur selalu digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia sehari-hari. Apa air sumur itu kering walau sudah digunakan Nak?” 
          Si Pemuda tersenyum, ia mulai menangkap pembicaraan Pak Tua.
          “Itulah ilmu yang bermanfaat Nak.” Pak Tua menjelaskan “Semaikn kita berbagi dalam kebaikan, maka kebaikanmu itu akan memancar kembali. Seperti air sumur, apalila telah di ambil, maka dari dasar sumurpun memancarkan air kembali. Bayangkan jika air sumur itu tidak digunakan, pasti airnya menjadi tak baik untuk di konsumsi. Keruh, bau dan mungkin beracun.
          “Nah begitulah Nak, ilmu apa yang kau dapat, amalkan, sebarkan, sehingga akan seperti air sumur itu, airnya akan tetap segar, sehat, dan bermanfaat pula. Denganya engkau akan mendapat gelar yang disabdakan kekesih kita, nabi Muhammad Saw.. sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Tapi harus ikhlas.
          Si Pemuda mangguk-mangguk. Mereka pun saling senyum. Kebahagianaan terpancar pada wajah mereka.
“Bagaimana caranya agar dapat bermanfaat sumur itu Mbah?” tanya Si Pemuda.
“Pertanyaan yang sangat bagus.” Sanggah Pak Tua dengan senyum melebar. “Menurutmu bagaimana Nak?”
Si Pemuda merunduk, diam-diam sambil memikirkanya. Cukup lama mereka diam, suasana pun hening. Si Pemuda mengankat wajahnya, memandang Pak Tua.
Pak Tua tau, ya pandangan NOL. Tersenyumlah mereka.
“Kau buat dua sumur. Satu di tempat yang jarang dikunjungi manusia, satunya di tempat yang sering dikunjungi manusia. Bagaimana menurutmu Nak?”
Si Pemuda menganggukan kepala, ia paham.
“Nah jika engkau ingin, buatlah sumur di tempat yang sering di kunjungi manusia, namun jangan asal tempat yang sering dikunjungi, tapi tempat yang sering dikunjungi plus dibutuhkan.
“Singkat kata, kau harus bermasyarakat, agar engkau tau dimana engkau akan menggali sumur itu. Maksudnya agar engkau tahu mana yang membutuhkan bantuanmu. Jika demikian, pengertianmu akan mengatur dirimu, sehingga kau akan tau diri. Nah akhirnya bergunalah ilmumu Nak. Begitulah kira-kira. Hehee. . .”

Jazakallohu hoir.

Friday, May 22, 2015

Cerpen - 1:40



1:40
            “Assalamu’alaikum.”  
          “Wa’alaikum salam.”
          “Ayam milikmukah Nak?”
          Si Pemuda tersenyum, tanpa berkata apa-apa. Pak Tua berjalan mendekati. Beliau sambil menyangking sesuatu di tangan kirinya. Sebuah gardus di ikat tali rafia.
          “Apa yang di dalam gardus itu?” tanya Si Pemuda sambil menatap gardus milik Pak Tua.
          Pak Tua tersenyum. “Oh, ini  kutuk. Tau apa itu?”
          “Apaan itu?”  kata Si Pemuda sambil geleng-geleng.
          Pak Tua menepuk pundak Si Pemuda. “Nanti saja saya jelaskan, mau ikut Nak?”
          “Mau. . .mau.” jawabnya penuh kemantapan. Baginya  Pak Tua adalah orang yang baik, dapat di percaya, jujur, amanah, dan penuh tanggung jawab. Ilmunya dalam, luas wawasannya, dan juga katanya begitu mengenang dibenaknya. Penuh hikmah.
          “Baca basmalah dulu Nak.” perintah Pak Tua. “Dengannya kita berharap datang kebaikan di tempat yang kata nabi adalah tempat yang paling buruk menurut Allah.”
          Keduanya saling menatap, saling berbagi senyum. Dan kata-kata Pak tua itu terhujam kedalam hatinya.
          “Saya mau jual anak ayam, dan itulah jawabannya yang tadi.” kata Pak Tua.
          “Jawaban apaan. O.. ya, saya ingat.” Si Pemudah terkekeh.
          “Tu pelajaraan saat sekolah dulu. Nama anak ayam, dipelajaran bahasa jawa.” Pak Tua pun ikut terkekeh.
***
          Sang mentari kian meninggi, cuaca pun semakin memanas. Pak Tua dan Si Pemuda berjalan menyusuri persawahan. Jarark rumahnya memang lebih dekat jika di tempuh dari jalan persawahan.  Di perjalanan mereka sambil ngobrol. Penuh ceria.
          “Nak. . .” panggil Pak Tua.
          “Dalem. . .” jawabnya.
          Panggilan itu di ulang-ulang sampai tiga kali, pun demikian jawaban Si Pemuda tetap sama.
          “Taukah kamu Nak?” tanya Pak Tua.
          Si Pemuda menggeleng. Pak Tua memperlambat jalannya. Si Pemuda seperti biasa, ia berjalan dibelakangnya, ia juga memperlambat langkahnya.
          “Begini Nak,” Pak Tua mulai menjelaskan. “dalam suatu kelompok, terutama di lingkungan masyarakat, pasti selalu ada orang yang lebih dari yang lain, dan terkadang hanya satu yang hampir memiliki kesempurnaan.
          “Kau tau Nak, dalam kelompok ayam pun begitu. Contoh, ada dua belas anak ayam yang ditetaskan oleh induknya. Dari dua belas tersebut biasanya ada satu anak ayam yang memiliki kelebihan, baik dalam hal kemenarikannya, keberaniannya, dan lain-lain.
“Biasanya anak ayam itu akan lebih disayang oleh tuannya. Tidak hanya itu, semakin terlihat kelebihannya maka anak ayam itu akan selalu diasah. Dengan penuh rintangan, cobaan. Misal, jika anak ayam itu pemberani, dan kuat, maka yang punya akan sering melatihnya dengan bertarung, jika anak ayam itu indah, maka akan di poles-poles, di adu keindahannya dan sebainya. Berbeda dengan rekan yang lain, yang lain akan bebas tanpa di apa-apakan.
“Namun taukah perbedaannya, dari nilai kualitas tentu akan lebih unggul  yang selalu di uji oleh tuannya. Nilai jual pun lebih tinggi. Berbeda dengan yang dibiarkan, hidup asal makan, atau lainnya. Yang seperti itu tak ada nilai unggul di mata tuannya..
“Nah tahukan kamu Nak, demikian seperti manusia. Dalam suatu kelompok terkadang hanya ada satu. Semua itu sudah dijelaskan oleh nabi kita. 1:40, itulah perbandingannya. Seperti anak ayam itu, dalam satu, dari dua belas hanya satu, pun manusia demikian. Namun itu hanya permisalan dariku.”
Si Pemuda itu manggut-manggut, tanda paham akan penjelasannya.
“Nah, kamulah yang harus jadi yang satu itu, bukan yang empat puluh. Namun harus terima konsekuensi, kau harus kuat,bersih, berpengetahuan, harus selalu asah mentalmu,  karena cobaan, tantangan pasti datang silih berganti, dan selalu bertingkat. Maka jika masalah datang jangan kau hindari, namun hadapilah. Jalan keluar dan solusi akan datang menghampirimu jika kamu tak lari darinya.”
“Kunci utama harus selalu dekat dengan-Nya. Dengan  mengingat, syukur, dan ikhlas kepada-Nya.” kata Pak Tua mengakhiri penjelasan.
“Terimakasih atas petuahnya Mbah.” Si Pemuda berkata dengan penuh kelembutan.
Akhirnya mereka berdua sampai di desa. Mereka berpisah dipertigaan. Kembali kerumah masing-masing.