Alam Desaku
“Pada berisik terus loh!’”kataku dalam hati. Ketiga
keponakanku memang anak yang aktif. Aku lihat jam di dinding yang
tergantung,”Wah, baru jam setengah dua. Aku kira tidurku sudah lama, ternyata
baru stengah jam.” gumamku dalam hati. Mereka benar-benar mengganggu tidurku!
Akhirnya aku
keluar, aku merasa ingin merefresskan badan dan oto-otot yang masih terasa
capek yang seharian aku membantu pamanku memoton kambing untuk kekahan istrinya.
”Bersepeda, smabil lihat-lihat alam yang terhampar luas di sebelah timur desaku
kayaknya enak.” pikirku. Aku mulai menaiki sepeda yang berada di depan rumahku.
Ku kayuh sepeda ontel kesayanganku. Ku sapa setiap orang yang aku jumpai di
pinggir jalan desaku. Merekapun membalas
dengan senyuman yang ringan. Ku kayuh terus sepeda ontelku sambil menikmati
udara yang segar siang hari. Sesampainya di ujung timur desaku, aku
melihat-lihat sekeliling pemandangan di sekitar. Maha Besar Allah yang
menciptakan segalanya, dalam pikirku. Aku tatap sawah-sawah, perbukitan, langit,
dan air yang mengalir dengan tenangnya di irigasi. Aku duduk di dekat sawah
sambil melihat alam sekitar. Allah menciptakan dengan sangat
teratur,”Subhanallah.” Dalam hatiku.” Allah menciptakan alam ini, dan bumi ini untuk
berpijak para manusia. Engkau memberikan segalanya sesuai kebutuhan manusia.”
Bukit-bukit
terlihat terbentang memanjang dari
kejauhan mata memandang, pohon-pohon tinggi seperti menyentuh langit, dan
langit yang indah berwarna biru di atas tanpa cacat sedikit pun. Subhanallah!
Aku sangat kagum dengan semua ciptaan-Nya. Aku melihat rumput yang berada di
dekatku, dalam pikirku mengapa daun itu berwarna hijau? Daun memang sebuah
materi yang terdiri dari partikel-partikel yang amat kecil. Pertikel-partikel
yang tersusun, saling berkaitan erat, yang juga di atur oleh-Nya, mereka tunduk
atas segala perintah-Nya. Maha besar
Allah yang Maha mengatur.
Allah yang Maha mengatur.
Aku mulai melangkah
menuju persawahan, sambil menoleh kanan
dan kiri, ku pandang sawah yang terhampar luas. Persawahan yang baru di garap ini
membawa daya tarik pada bola mataku,”Benar-benar indah pemandangan ini.”kataku
dalam hati. Terlihat di suatu petak ada dua orang ibu-ibu sedang menanam. Aku
dekati mereka, mereka terlihat kotor. Tiba-tiba salah seorang ibu bertanya
padaku,
”Sudah selesai apa kekahannya?”
“Sudah bu.”jawabku.”Paling nanti tinggal membaginya. Em- apa
tidak capek bu?”
“O, Mafud – Mafud.” Kata si ibu sambil meringis.”Ya capek lah,
ya untuk mendapatkan uang untuk keperluan, jadi bagaimana lagi.”
Aku tersenyum melihat mereka. Walau begitu mereka tetap semangat
seperti tak mengenal lelah. Allah Maha Adil, Dia member rizki dari mana saja,
Maha Kaya Engkau Tuhanku. Mungkin jika tak ada mereka maka taka ada juga yang
akan menggarap sawah, menanam, dan
merawat hingga panen. Ya begini lah Allah, Subhanallah.!
Setelah lama berbincang-bincang, aku mulai berjalan menyusuri
persawahan menuju arah utara. Aku teringat 10 tahun yang lalu, ketika aku masih
kecil, aku dan teman-temanku sering bermain di sawah. Apalagi pas hujan, kami
bermain perang-perangan, terkadang mancing belut, dan malamnya pun kami
terkadang ngobor belut hingga pulang larut malam. Wah, senangnya dulu. Tapi
untuk anak sekarang mungkin takut kotor, jadi gak ada yang mau. Hehe J Benar kata ibu-ibu
tadi,”Ya anak sekarang pada gak mau ke sawah, tiap hari yang di pegang motor
dan hp terus.” Padahal tadi ibu-ibu itu cerita padaku, katanya si ibu
itu sudah di suruh kesawah sejak kecil untuk membantu orang tuanya. Wah-wah!
Dalam perjalanan aku tersenyum mengingat perkataan itu.
Terlihat ada orang di sebuah petak, di dekat irigasi. Aku
menghampiri petek itu. Ada 3 orang ibu-ibu
dan 1 bapak-bapak. Salah ibu-ibu berkata padaku,
“Lagi apa kamu mafud, nanti jatuh.”
“Lagi lihat-lihat bu.”jawabku.”capek gak bu?”
“Ohalah, mafud-mafud, ya lumayan capek lah.” Jawab salah
satu si ibu sambil tertawa.”Kamu besok kalau kerja jangan kayak gini, kerja
yang enak.”
Aku tersenyum mendengar si ibu mengatakan seperti itu. Kemudian
ibu berkata lagi,
“Walau capek gini makannya jadi enak.” jelasnya,”Ccoba si, kalau
ga capek, pasti makannya biasa-biasa aja. Apalagi kalau makannya berada di
sawah, tambah nikmat.”
Wah! Memang petani-petani ini lucu. Aku tertawa mendengarnya.
Kemudian aku menghampiri si bapak-bapak. Ia sedang membuat garis menanam.
Terlihat cukup mudah memang, tapi kata si bapak itu kalau bukan petani maka
tidak bisa. Mungkin tidak rata katanya. Kami cukup lama berbincang-bincang. Aku
pun meninggalkannya. Dan menuju petak pertama, juga aku merasa ingin pulang.
Sudah cukup puas ku melihatnya.
Sesampai di petak pertama, aku berhenti sejenak untuk
melihat-lihat ibu-ibu menanam. Tiba-tiba berkata padaku,”Fud kamu esok kalau
nyari istri yang kerjanya dokter,apa guru, jangan yang kayak gini.”
Kata-kata itu membuatku tertawa. Aku menjawab,”Wah bu, belum
sampai situ aku.”
“kelas berapa kamu Fud?” kata si ibu.
“kelas 3 bu.” jawabku.”ya sudah hampir mau lulusan. April
UN-nya.”
“O, mau kuliah?” katanya lagi.
“Insya Allah bu.” jawabku.
Setelah cukup lama di situ, aku pun berjalan untuk pulang. Aku
telusuri jalan saat aku menuju sawah tadi. Terlihat sepedaku yang setia
menungguku,” Akhirnya sampai juga.” Kataku dalam hati. Ku naiki sepeda, sebelum
ku mengayuhnya, aku melihat lagi suasana persawahan ini. Dalam hatiku
mengatakan,”Ya Allah, aku mohon jangan hapus memori indah ini dalam otaku.
Sungguh indah hari ini. Alhamdulillah.”
No comments:
Post a Comment